Langsung ke konten utama

Hubungan Intertekstualitas Antara Sajak "Rakyat" dengan "Sontrot"

1. Pendahuluan.
Karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong kebudayaannya (Teeuw, 1980: 11), termasuk di dalamnya situasi sastranya. Karya sastra ditulis dalam hubungannya dengan zaman penyair menulis maupun dalam pertentangannya dengan karya-karya zaman sebelumnya (Teeuw, 1983: 65). Karya sastra dicipta berdasarkan konvensi sastra yang ada dan atau juga menyimpangi ciri-ciri dan konsep estetik sastra yang ada. Selalu ada ketegangan antara konvensi dan pembaharuan (Teeuw, 1980: 12). 

Dalam hubungan itulah perlu diperhatikan prinsip intertekstualitas seperti diungkapkan oleh Riffaterre dalam Semiotics of Poetry (1978), bahwa sajak biasanya baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain, baik dalam hal persamaan atau pertentangannya. Sajak yang menjadi latar penciptaan sebuah sajak yang lain disebut hypogram (Riffaterre, 1978: 11,23). Sedangkan sajak yang diciptakan berdasarkan hypogram disebut transformasi. 

Julia kristeva (Culler, 1977: 139) mengemukakan bahwa tiap teks merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan dan transformasi teks-teks lain. Dengan demikian, sebuah karya sastra hanya dapat dibaca dalam kaitannya dengan teks-teks lain. Intertekstualitas adalah sebuah pendekatan untuk memahami teks sebagai sisipan dari teks-teks lain. Bahwa suatu teks disusun dari kutipan-kutipan atau sumber-sumber teks lain.

Dalam kesusastraan Indonesia, hubungan intertekstualitas antara suatu karya sastra dengan karya sastra yang lain, baik antara karya sezaman ataupun dengan zaman sebelumnya banyak terjadi. Sebagai contoh adalah adanya intertekstualitas antara sajak "Padamu Jua" (Amir Hamzah) dengan "Do'a" (Chairil Anwar), "Kusangka" (Amir Hamzah) dengan "Penerimaan" (Chairil Anwar) yang telah dapat dibuktikan dengan sangat baik oleh Prof. Dr. Rahmat Djoko Pradopo dalam bukunya "Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya".

2. Pembahasan.
Berikut ini akan diuraikan hubungan intertekstualitas antara sajak "Rakyat" (Hartojo Andangdjaja, 1961) dengan sajak "Sontrot" (Nindito Nugroho, 2019). Sebelumnya, akan dikutip kedua sajak tersebut secara utuh:

RAKYAT
.......Hadiah hari krida
.......Buat siswa-siwa SMA Negeri
.......Simpang Empat, Pasaman

Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan ladang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
rakyat ialah tangan yang bekerja

Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka

Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka

Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta

Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa

1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
Andangdjaja, Hartojo. 1973. "Buku Puisi". Jakarta: Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA.
-------------------------------------------

SONTROT

Rakyat Adalah Sontrot
Yang memanjang dari tanah ke pucuk singkong
Membawa air untuk kehidupan
Juga ionion tanah untuk keseimbangan kosmos
Selsel birokrasi

Rakyat adalah sontrot
Yang mutlak harus ada
Karena ia adalah medium pengusung
Pada elemenelemen bangunan kekuasaan

Rakyat adalah sontrot
Pada saatnya
Dituai umbi pulen tahta
Maka ia hanya benang tak guna
Begitu saja
Dilupa

Juli 2019
Sumber:
Nugroho, Nindito, dkk. 2019. "Cermin Waktu". Surakarta: bukuKata, Taman Budaya Jawa Tengah.
----------------------------------------

Ada hubungan, baik berupa persamaan maupun pertentangan, antara kedua sajak tersebut dalam hal ide (gagasan) dan cara ungkap. Secara substantif gagasan dari kedua sajak tersebut memiliki kesamaan yaitu mencoba mengkonsepsikan apa yang disebut "rakyat", walaupun memiliki perbedaan pada akhir penyimpulannya. 

Bait 1 sajak "Rakyat" dibuka dengan usaha mengkonkretkan gagasan mengenai siapa itu rakyat yang kemudian diuraikan sebagai beragam lukisan di baris-baris selanjutnya. Sedangkan baris akhirnya sendiri merupakan kesimpulan dari beragam uraian tersebut. Perhatikan bait 1 berikut ini:

Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
rakyat ialah tangan yang bekerja

Teknik ungkap semacam ini juga terjadi pada bait 2,3, dan 4. Sedangkan bait 5 (terakhir) merupakan semacam kesimpulan dari keseluruhan sajak itu sendiri sekaligus sebagai konsepsi akhir sang penyair yang bersifat hiperbolis, begini:

Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa

Sajak "Rakyat" lahir di sekitar tahun 1960an ketika Hartojo menjadi guru di Simpangempat, Pasaman, Sumatera Barat. Di Simpangempat itulah ia turut bergotong royong membuka sebidang ladang ilalang menjadi lapangan olah raga dan tempat sekolah. Pada saat itulah timbul gagasan untuk menulis puisi yang menggambarkan semacam kebanggaan rakyat. Beberapa bulan selanjutnya dia bertemu hal-hal lain yang mendukung dan menguatkan gambaran posisi penting rakyat dalam pembangunan bangsa. Inilah yang mempengaruhi dan membentuk konsepsinya mengenai rakyat yang kemudian diuraikan dalam beragam bentuk lukisan positif di sebagian besar bait-bait sajak "Rakyat".

Sajak "Sontrot" mencoba mengkonsepsikan 'rakyat' dengan membandingkannya dengan sontrot. Perhatikan bait 1 berikut ini:

Rakyat Adalah Sontrot
Yang memanjang dari tanah ke pucuk singkong
Membawa air untuk kehidupan
Juga ionion tanah untuk keseimbangan kosmos
Selsel birokrasi

Sajak ini dibuka dengan metaforis, kemudian diuraikankan lagi dalam baris-baris selanjutnya secara alegoris. Tidak ditemukan adanya baris kesimpulan di akhir bait ini seperti yang ditemukan dalam sajak "Rakyat". Teknik ungkap seperti ini ditemukan juga di bait 2 dan 3. Namun, di bait 3 ini diisi dan ditutup dengan baris-baris kesimpulan yang bersifat ironis, begini:

Rakyat adalah sontrot
Pada saatnya
Dituai umbi pulen tahta
Maka ia hanya benang tak guna
Begitu saja
Dilupa

Konsepsi yang bersifat ironis tentang 'rakyat' ini muncul dari situasi politik Indonesia pasca pemilu serentak tahun 2019 dimana sajak ini dibuat. Situasi dimana rakyat berposisi sebagai objek yang dimanfaatkan oleh politikus untuk meraih kekuasaan. Rakyat adalah alat penopang tegaknya sistem politik (kekuasaan), namun di situ kemudian digambarkan betapa ironisnya peran akhir yang mereka peroleh, seperti sontrot dalam ubi yang tak enak dimakan, cuma untuk dibuang dan dilupakan.

3. Penutup.
Cara "Sontrot" membuka tiap baitnya secara repetitif itu (Rakyat adalah sontrot) dapat dirunut pada "Rakyat" (Rakyat adalah kita). Meski pada "Rakyat" adalah dalam usaha mengkonkretkan gagasan, bukan metaforis seperti pada "Sontrot". Keduanya juga memiliki kesamaan gagasan untuk mengkonsepsikan 'rakyat', walaupun dengan kesimpulan yang berbeda. Yang satu hiperbolis-positif, yang lain ironis-negatif. Konsepsi ini berangkat dari peristiwa (narasi, teks) yang sama, yaitu peran dan posisi rakyat dalam sistem sosial-politik bangsa dan negara. Dengan demikian, tak berlebihanlah kiranya bila dikatakan bahwa di antara keduanya terdapat relasi intertekstual. "Rakyat" (1960an) adalah hypogram, "Sontrot" (2019) adalah transformasinya.

Magelang, 4 September 2019.

Daftar Pustaka:
1. Pradopo, Rahmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2. Andangdjaja, Hartojo. 1973. "Buku Puisi". Jakarta: Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA.
3. Nugroho, Nindito, dkk. 2019. "Cermin Waktu". Surakarta: bukuKata, Taman Budaya Jawa Tengah.
4. https://www.kompasiana.com/dwiki/54ff17a4a33311da4450f84b/ilham-pada-proses-lahirnya-puisi-rakyat-karya-hartojo-andangdjaja?page=2
5. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Intertekstual

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Mencintaimu

Aku mencintaimu, kekasih Aku mencintaimu Dengan seluruh keberadaanku Aku mencintaimu Dengan kejujuran orang dusun Karena aku di sini Di antara rumah-rumah  Yang saling menukar isi dapurnya Karena aku dinaungi mereka  Dari kejahatan musim Dan serbuan tipudaya kota Karena aku di sini Di antara pohon-pohon dan sungai Dari mana aku belajar lagi Tumbuh dengan tenang dan perlahan Mengalir Aku mencintaimu, kekasih Demi hidup yang bangkit dari sekaratnya Demi cahaya matamu yang bagaikan matari Dan hidupku sendiri seterusnya 20 Sept 2022.

AMSAL SAJAK BENING

I. Sajak ini angin menyisir bukit-bukit Oksigen bagi napasmu Pandangmu pada lautan Tidur pengemis kekenyangan Sajak ini ada di setiap kemenanganmu Lampu-lampu dan bulan di malam hari Lembayung pada sore yang cerah Kompas di kakimu Sajak ini berdetak di dadamu Bergema di do'amu Tidur, dan mimpi-mimpi  Yang kau lupakan Sajak ini kedatangan dan kepergian Tak membekas padamu selain legawa Sajak ini tubuh dan jiwa yang satu Sajak ini segala ikhwal dharma II. Sajak ini berasal dari pusat rumahku Mengalirkan napas sebegitu lancarnya Memandang dunia luar begitu tenangnya Agar-agar manis jam dua belas siang di mulutmu Di dadamu sabana menari, angin lembah menyanyi Sajak ini sebuah komposisi sempurna cerah pagi hari Cinta pertama terjaga hingga kini sampai nanti Masa tua dan terurainya simpul-simpul kefanaan Sore yang baik dan upacara minum teh yang khidmat O, sungai purba dalam tubuhmu adalah sajak ini Perkataan-perkataan baik, bijak, penuh hikmah Susu dan madu dan kayu harum da...

SAJAK-SAJAK RENUNGAN

1. Hanya ketika suwung, memahami kenyataan terasa lebih mudah. Mempersiapkan perpisahan dengan segalanya, itu yang sulit. Namun jalan selalu terbuka bagi hati yang kuat dan bersih. Perpisahan adalah pintu pertemuan yang selalu lebih baik. Apakah yang tersisa dari diri yang penuh dengan isi dunia? Segalanya berubah bentuk begitu masuk ke dalam diri kita. Sebagian besar tidak untuk dimengerti. Hanya tersisa sebagian  kecil untuk dimengerti. Begitu kecil sehingga seperti tak berarti  sama sekali. Bahkan kemudian buyar menjadi kehampaan. Namun ketika kita memandangnya dengan mata yang lain, akan terlihat betapa hal itu adalah yang paling mudah untuk membuka ruang pemahaman dalam diri kita. Bahwa kekosongan menyimpan potensi keberadaan.  Kenyataan yang sebenarnya yang belum kita lihat. 2. Hujan pasti jatuh, dan akan tumbuh merimbun lagi rumput-rumput yang sempat kerontang dan layu.  Meski kemarau telah menginjak-injak dengan kejamnya, akar-akar bisa sabar bert...