“AKU feminim. Aku feminim,” katanya nggrentes, bikin aku meremang.
Aku berbisik pada kekasihku, “Aku mau pulang,” sambil merangkul tengkuknya dari samping. “Aku mau pulang saja. Punggungku sakit.”
“Sst, sebentar. Tunggu sampai ini selesai,” kata kekasihku merengkuh kepalaku.
Dan aku makin merasa sakit. Dan bulan terus turun dari langit selatan di atas tembok yang jadi latar belakang panggung pertunjukan. Panggung itu terbuka menengadah langit malam. Langit hitam, latar panggung kain hitam, dan kabel yang melintang sedikit di atas tembok itu juga hitam. Lampu panggung, lampu sorot, selalu warna-warni, banyak yang suram, kecuali jika mc memenggal acara satu dengan yang lain. Aku dan kekasihku duduk di undakan atas di muka panggung terbuka yang mirip coloseum kecil itu. Kekasihku memakai t-shirt merah dan sweater putih-merah muda. Dia selalu terlihat cantik, mirip kekasihku yang lain. Kenapa kekasih-kekasihku selalu mirip satu dengan yang lain? Sakitku reda memikirkan hal ini.
Aku melirik-lirik aktor monolog itu lagi. Tapi mataku ini maunya pejam terus karena tak kuat menatap raut aktor monolog itu; “Aku feminim, aku feminim,” katanya.
Ia turun panggung mendekati salah seorang penonton. “Aku feminim,” katanya kesekian kali, mirip seorang bocah yang tak berterima atas sesuatu. Tapi, mungkin tepatnya ia sedang merajuk, “Mengapa aku begini?” Dan ia, aktor itu, mempertanyakan kecenderungan tumbuh tubuhnya yang mengarah pada orientasi tak umum sekaligus mempertanyakan persepsi dan anggapan umum atas keberadaannya yang lain itu. “Aku feminim,” katanya, lalu meraba-raba tubuhnya. Ia terus menangis, tak sekedar meratap, sejak turun panggung.
Ia terus mendatangi penonton, yang muda, yang tua, lelaki, perempuan, merajuk; “Aku feminim, aku feminim …”
Dan ia tak sampai memperoleh jawab kecuali sebuah elusan lembut di kepalanya oleh seorang berambut uban, dan tawa seorang bocah penonton yang tak pernah terdeteksi dengan jelas; apa itu cemoohan atau histeria belaka, dan sungguh-sungguh membikin penonton lain ikut tertawa ketika, akhirnya, aktor monolog itu benar menyingkapkan handuk yang selama itu melilit pinggang sampai dadanya, menampakkan penis yang besar dan panjang menggelantung di pangkal pahanya sambil berteriak pada dunia: “Aku feminim!!” Dan lalu menangis tersedu.
Aku melupa rasa sakitku dan ikutan ketawa, mengetawai tawa bocah itu yang lucu. Kekasihku juga ketawa di sampingku, dan bibirnya yang tipis itu yang membikin aku suka kalau ia ketawa seolah ia tak punya bibir, selain bekas luka di dagu yang sering kuraba dan kuhidu dengan khusyuk itu.
Aktor itu merangkak lagi ke panggung, tertatih, menggerayang. Kau mungkin sudah mengira; jalan buat membaca keberadaanya sungguh-sungguh terjal dan tak memiliki petunjuk arah yang jelas. Tapi mataku cuma melihat bahwa begitu mulai, begitu lampu panggung menyala tadi, aktor ini langsung terjelempah, terlempar dari dunia mana, dan rambut palsunya terjatuh dari kepalanya. Ia setengah telanjang hanya melilitkan handuk dari pinggang sampai dadanya, meraba-raba tubuhnya, mengambil lagi rambut palsunya dan lalu melemparnya ke lantai, dan meratap: “Aku feminim …” sebelum kemudian turun dari panggung, dan, begitu: terus meraba-raba tubuhnya, meratap, dan ditambah tangis yang nggrentes.
Membentur latar belakang panggung dari kain hitam yang di sebaliknya kukuh membentang tembok dari beton itu, tangannya menggerayang sambil tersedu-sedan, mencari-cari; barangkali ada celah di tembok itu, dan tak ada ia dapatkan sesuatu buat menghentikan ratapnya. Ia berbalik pada penonton. Matanya seperti menusukku; “Aku feminim!” teriaknya. Marah.
“Aku mau pulang,” bisikku pada telinga kekasihku. “Sst, sebentar,” katanya lagi berkilah. Ia kecup keningku, “Sebentar, ya?”
Aku jadi heran sendiri. Mestinya aku yang betah menyaksikan pertunjukan semacam ini, bukan ia yang seorang sales promotion girl rokok itu. Aku melirik ke gadgetnya; sebuah jejaring sosial, dan kawan-kawan perempuannya yang cantik-cantik pulasan, berderet-deret mengomentari photo si aktor monolog telanjang yang barusan kekasihku unggah. Nampak ramai ketawaan. Banyak cemoohan ringan guyonan. Dan aku, entah mengapa, merasa sakit lagi. “Aku mau pulang. Ayoh, kita pulang.” Kekasihku ketawa, asyik masyuk dengan teman-teman mayanya. Ia berhasil menangkap momen nyata di depan matanya, lalu menciptakan momen maya yang seperti nyata dari itu. Sementara, aku terus merasa sakit sepanjang akting aktor itu. Seberapa parah sakit punggungku dibanding dengan sakit yang diperankan si aktor itu?
Aku mau pulang, tapi kekasihku tak mau tahu. Untung sekali seorang kenalan menghampiriku. “Apa kabar?” Selalu tanya yang sama yang paling sopan buat sebuah perjumpaan atas ketidakbertemuan yang lumayan lama. “Baik,” jawabku sopan pula. “Ini punggungku sedikit sakit,” kataku. Ia menyeretku ke deretan belakang, dan kami mulai mengobrol tentang seluk beluk dunia pertunjukan dari masa-masa silam sampai kekinian.
Kemudian sampai ia berucap, “Pertunjukan dari aktor-aktor muda selalu berangkat dari naskah-naskah yang sama dengan yang kita pakai saat mula berproses dulu.”
“Tapi referensi kontekstualnya jelas berbeda,” kilahku, “dan itu menciptakan nuansa yang beda pula. Itu mungkin yang membuat pertunjukan selalu nampak baru,” tambahku sedikit menggumam.
“Hm. Yang beranjak tua begini mesti lebih banyak bergelut dengan naskah yang mendesak dan tak punya rumus pasti,” timpalnya dan ketawanya bercucuran.
Aku tahu, rumah tangga kawanku ini berantakan gara-gara tingkahnya yang sulit buat mencari dan mengumpulkan uang.
Aku telah diseret lagi ke depan panggung ketika sebuah pertunjukan lain lagi sampai menggugat tuhan segala dalam naskahnya.
“Masih seperti itu, kan?” Katanya. “Kegelisahan masa muda. Naskah-naskah yang cocok dengan mereka,” tambahnya, dan lalu ketawa kecut sekaligus seperti meremehkan. Aku memberengut dan merasa sakit lagi; punggungku rupa-rupanya mengajak tidur. Aku mencari-cari kekasihku di deretan yang kutinggalkan sebelumnya. Dia mulai sudah menguap-uap. Aku pamit pada kawanku dan mendekati kekasihku. Senyumnya, astaga, senyum dari bibir tipis itu cuma buatku seorang! “Ke mana aja kamu?” tanyanya lembut. Aku ceritakan pertemuanku dengan kawanku tadi, dan ia manggut-manggut sambil mengeluarkan batang rokok dari bungkusnya: buatku satu dan buatnya satu. Kami merokok sampai habis beberapa batang ketika pertunjukan monolog dari aktor gondrong yang mempertanyakan keadilan kepada tuhan itu usai sudah.
“Eh, yang belakangan tadi temanya apa?” tanya kekasihku ketika kami sampai parkiran.
“Itu tentang hal-hal di luar yang bisa kau jangkau dengan akalmu,” jawabku sekenanya.
Seperti biasa, dia cuma akan senyum. Dia selalu mengerti bahwa ia cukup mengerti saja hal-hal yang bisa ia mengerti.
Jalanan mulai sepi. Kami lewat alun-alun, dan patung pangeran dari keraton dari jaman dulu sekali yang menghunus kerisnya ke arah jalan besar dan pusat belanja itu masih nampak marah di bawah malam begini.
“Aku capek,” kata kekasihku. Itulah kenapa aku yang memboncengkan. Biasanya aku yang minta bonceng kalau naik motor. Aku suka membonceng, lebih leluasa buat memeluknya dari belakang. Tapi waktu kami sampai di ranjang, setelah kemudian aku betul-betul lupa dengan rasa sakitku, dan kekasihku mulai lupa dengan capeknya karena rupanya ia terus mengoceh tentang ajakan buat menikah sambil tak henti-henti bibirnya yang tipis itu mengepulkan asap rokok, aku cuma bisa terus diam sambil rebahan membayangkan aktor-aktor muda yang mengisi acara-acara tadi yang pastinya sekarang sedang terlibat dalam diskusi-diskusi penuh semangat dan sedikit amarah dan ketegangan dan banyak perdebatan mempertahankan idealisme-idealisme. Aku diam dan mulai tertidur, bermimpi jadi seorang aktor tua yang gagal berkeluarga.
Magelang, 7 Juni 2014.
Note:
Cerpen ini mendapatkan pemantiknya dari sebuah pertunjukan Monolog "Feminim" garapan sebuah kelompok seni dalam salah satu mata acara Penutupan PEKAN SENI TIDAR, Open Stage Gedung Kyai Sepanjang, Jl. Kartini, Magelang, Kamis 5 Juni 2014 Pukul 19.30.
Komentar
Posting Komentar