Langsung ke konten utama

Pemuda dan Anjingnya

Aku belum juga memperoleh pekerjaan baru. Maksudku pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Namun, aku tidak benar-benar menganggur. Sebagian besar waktuku kuhabiskan untuk menulis. Aku berharap menulis bisa menafkahiku. Meskipun kenyataannya sampai saat ini belum ada satu pun tulisan yang kukirim ke media pernah dimuat dan menghasilkan uang. Aku cuma mengandalkan sisa simpanan gaji terakhir dari pekerjaanku sebelumnya. Dan hari ini uangku benar-benar habis. Aku tak mampu lagi membeli makanan. Aku masih belum tahu bagaimana caranya agar bisa makan hari ini dan untuk hari-hari selanjutnya. 

Bisa saja aku pulang ke rumah ibuku. Kalau kuberitahukan kesulitanku padanya, pasti ia akan memberiku makanan yang layak dan juga uang. Tapi di balik itu, aku tahu ia akan merasa sedih dan nelangsa. Lagipula aku masih enggan jika mesti bertemu bapakku di sana. Perseteruan antara kami belum bisa dibenahi. Perseteruan yang membikinku memutuskan untuk tinggal indekos sendiri. Tidak. Aku tak akan pulang. Setidaknya untuk saat ini. Begitu pula, aku tak mungkin menghubungi kawan-kawan dekatku hanya untuk mengabarkan kalau aku tengah kesulitan dan butuh uang. Mereka sudah memiliki kehidupan dengan keluarga masing-masing. Aku tak mau merepotkan mereka. Maka, kuputuskan saja kalau hari ini aku akan puasa. 

Aku melirik sofa hitam yang mulai lapuk di sebelah kiri pintu kamar tempatku berdiri bersandar. Anjingku masih malas-malasan di situ. Ia belum tahu kalau pagi ini tak bakal dapat makan. Baiklah, biar ia tenang dalam ketidaktahuannya. Oh, perut. Bagaimana bisa aku tergelincir dan terpuruk dalam urusan begini? Aku harus mengalihkan pikiranku ke hal-hal lainnya. Sebaiknya aku menulis saja. Aku sedang merampungkan sebuah cerita pendek tentang seorang pemuda sebatang kara yang dalam situasi terburuk dalam hidupnya justru berhasil mengenali jati dirinya. 

Kututup pintu kamar. Aku segera menuju meja belajar, duduk, dan menyalakan notebook. Aku berharap kali ini akan berjalan lancar. Aku mulai mengingat sebagian cerita yang telah kutulis. Namun, pikiranku selalu berbelok pada bagaimana caranya agar aku dan anjingku dapat makan, bagaimana caranya membayar sewa kos, dan sederet pikiran lain yang berhubungan dengan hal itu. Alhasil, aku gagal fokus. Sementara itu notebook telah menyala. Aku membuka file ceritaku. Kubaca dan kubaca ulang sampai aku mulai bisa fokus pada ceritaku sambil membenahi bagian-bagian yang kurasa kurang sesuai. Pikiran-pikiran mengenai kesulitan-kesulitanku belakangan ini kujadikan landasan bagi bentuk dan jiwa ceritaku. Tak mudah memang. Kadang aku berhenti di satu kalimat, atau merombak satu paragraf. Tapi aku terus bertahan. Aku menulis, membaca ulang, berhenti untuk berpikir lebih jernih, dan menulis lagi, begitu seterusnya hingga perhatianku sepenuhnya tertuju pada cerita yang kutulis. Aku sampai mengabaikan waktu sholat. Aku mengabaikan gonggongan anjingku. Aku kira itu hanya gonggongan biasa. Hanya ketika kemudian gonggongan itu semakin gencar disertai ketukan berulang di pintu, aku berhenti sejenak, menggeliat untuk melemaskan ketegangan di tubuhku, lalu beranjak ke pintu dan membukanya. Anjingku berhenti menggonggong, dan menguik-nguik menatapku. Aku tersadar kalau belum memberinya makan sejak pagi. Dan kini hari telah sore. Aku tersadar lagi kalau aku juga belum makan. Tapi aku kan puasa? Tapi bagaimana dengan anjingku? Aku menatapinya. Ia menjulur-julurkan lidahnya. 

"Maafkan aku. Tak ada makanan hari ini," kataku sambil menggelengkan kepala.

Ia menguik kecewa. Aku merasa iba dan bersalah pada anjingku. Tapi aku hanya diam menatapinya. Tiba-tiba ia menggonggong penuh semangat dan berlari ke pintu pagar, lalu kembali padaku dan merangkul kakiku dan menarik-narik ujung celana panjangku dengan kaki depannya sambil terus menggonggong dan menengok-nengok ke pintu pagar. Aku masih diam. Aku tahu ia hendak mengajakku jalan-jalan sore. Namun, kali ini aku tak berhasrat melakukannya. 

"Maafkan aku. Kita tak akan melakukannya kali ini," kataku sambil menggelengkan kepala untuk ke dua kalinya. Ia menguik dan nampak kecewa untuk ke dua kalinya. Aku duduk bersila di pintu dan menatapinya. Ia menghindariku dan mulai berlarian tak jelas di beranda dan di halaman sambil menguik-nguik dan mengendusi lantai, dinding, dan setiap benda yang ia temui sebelum akhirnya kelelahan sendiri dan berakhir nglumpruk di sofa hitam ketika terdengar adzan Maghrib. Rupanya ia pura-pura tidur. Sesekali ia membuka matanya dan melirikku dan kembali menutup matanya. Aku berdiri dan menekan saklar di dinding dekat pintu. Aku mencari air minum di dalam kamar. Namun, bahkan air minum pun aku sudah tak punya. Aku lalu berjalan melewati lorong beranda kamar-kamar tetangga kos yang kosong menuju kamar mandi di deretan paling ujung. Aku masuk, dan membuka keran, menadah airnya dengan tangan dan meminumnya. Itu lumayan sedikit mengurangi rasa haus dan laparku. Aku teringat pada anjingku. Barangkali ia juga belum minum seharian ini. Aku belum mengganti air di tempat minum anjingku. Lalu aku keluar kamar mandi menuju sofa hitam dan mengambil tempat minum anjingku, mengisinya dengan air keran, dan meletakkannya di lantai di depan sofa hitam. Anjingku masih nglumpruk di sofa hitam. "Minumlah!" kataku. Ia cuma membuka matanya dan melirik padaku. "Ayo, minumlah!" kataku lagi. Ia cuma menguik pelan. "Baiklah kalau tak mau," kataku akhirnya. Kutatapi matanya. Ia melengos dan menutup matanya lagi. Kutepuk-tepuk kepalanya. Ia diam saja. Sambil menghela napas, aku masuk kamar dan menutup pintu. 

Aku kembali menghadap notebook dan melanjutkan lagi ceritaku. Kali ini aku dengan mudah masuk pada jalan cerita yang kutinggalkan sebelumnya. Air keran itu lumayan mengganjal perutku dan menjaga kesadaranku. Aku mulai menulis lagi dengan pelan dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Aku berhenti ketika mendengar kokok ayam jantan bersahutan. Aku melihat jam. Pukul satu dinihari. Ceritaku belum selesai. Namun, aku memang sudah lelah dan mengantuk. Kusimpan ceritaku, kumatikan notebook, lalu rebahan di kasur busa. 

Aku tak tahu kapan mulai tertidur. Aku tersadar ketika pagi-pagi sudah terdengar gonggongan dan ketukan berulang di pintu kamar. Aku tergeragap bangun lalu membukanya. Anjingku berhenti menggonggong, menguik-nguik, menggigit ujung celana panjangku, dan menyeretku ke sofa hitam. Aku disuruh duduk kemudian ia menatapiku dan menggonggong lagi dan memalingkan moncongnya ke pintu pagar dan menunjuk-nunjuk padaku dan menggeleng-geleng. Aku belum dapat memahami maksudnya dengan jelas.

"Kamu mau apakah?" tanyaku sambil mengucek-ngucek mata.

Ia menggonggong, menunjuk-nunjuk padaku dengan moncongnya, dan menggeleng-geleng, dan lalu beranjak ke pintu pagar. Aku membuntutinya. Ia berhenti dan menggeleng-geleng dan mendorongku ke sofa hitam kembali. Aku duduk. Ia menunjuk-nunjuk padaku dan menggeleng-geleng dan kembali menuju pintu pagar. Aku diam. Ia berhenti di pintu pagar dan berbalik menatapiku dalam diam. Aku menatapinya. Matanya sedikit berkaca-kaca. Jadi ia ingin pergi sendirian. Jadi ia telah tahu kalau aku sudah tak punya makanan. Ia ingin mencari makanan sendiri di luaran sana; di jalanan atau di kampung-kampung; mengais-ngais sisa makan orang atau mengemis. Hal yang sebelum ini tak pernah ia lakukan. Aku merasa sedih dan iba. Aku ingin mencegahnya, tapi tak kuasa, karena ia sendiri yang berkeinginan untuk pergi. Kami bertatapan agak lama sampai kemudian ia menguik, berbalik, dan berjalan pelan melewati pintu pagar, menuju halaman, dan menghilang di gang. Aku masih diam di tempatku. Aku hanya berharap agar ia mendapatkan makanan yang bersih. Aku berharap agar ia tak diganggu anjing lain atau orang jahat, dan ia tak menerkam anak ayam milik orang lain. Aku berharap agar ia lekas kembali. "Maafkan aku," bisikku lalu kembali masuk kamar. 

Aku rebahan di kasur busa dan merenung. Ini memasuki hari ke dua dimana aku tak bisa makan dan tak bisa memberi makan anjingku hingga ia memutuskan pergi mencari makan sendiri. Apa yang mesti kulakukan? Apa aku minta pekerjaan lagi di percetakan saja? Tidak mungkin. Posisiku telah digantikan orang lain. Apa aku hutang di warung saja? Tapi aku belum pernah hutang sebelum ini. Aku malu. Lagipula apa pemilik warung akan percaya padaku? Apa aku pulang saja kali ini? Semuanya tak memberikan penyelesaian yang terang. Aku merasa sedikit pusing. Perutku juga mulai mengeluarkan suara tanda kosong tak ada yang dicerna. Tenang. Tenangkan dirimu, kataku pada diri sendiri. Aku bangun dan duduk di kasur busa bersandar pada dinding. Kupejamkan mataku dan mengatur napas. Selang beberapa saat aku mulai bisa fokus pada napasku. Pusing di kepala sedikit berkurang. Dan perutku, meski kadang masih berbunyi, namun tidak sampai melilit. Aku membuka mata. Lebih baik aku puasa lagi. Lebih baik aku melanjutkan ceritaku, kataku yakin. Aku beranjak ke depan meja belajar dan duduk dan menyalakan notebook. Begitu notebook menyala, aku segera mencari file ceritaku. Begitu ketemu, kubuka dan mulai membacanya. Namun perhatianku pecah lagi. Bagaimana, bagaimana, dan lapar dan haus dan pusing. Alhasil, aku jadi kesulitan melanjutkan ceritaku. Kadang aku menulis begitu pelan karena jadi lamban berpikir. Kadang aku menulis dengan cepat seperti kesetanan menuruti imajinasi yang mekar tak tentu arah akibat rasa cemas. Tentu saja kuhapus setelah kubaca berulang kali. Itu semua hanya membuat tulisanku sulit berkembang. Keadaan itu terus berlangsung sampai siang hari, sampai aku merasa begitu lelah dan lapar dan haus, sampai tanpa sadar aku pun tertidur.

Sorenya ketika aku terbangun, perutku terasa melilit-lilit, dan tubuhku mulai gemetar, dan kepalaku pusing. Ketika aku menahan itu semua sambil memikirkan anjingku dan mencari cara bagaimana agar dapat makan, lamat-lamat kudengar gonggongan anjing dari arah utara. Hatiku berkecamuk antara rindu dan iba; rindu pada anjingku, dan iba pada diriku sendiri yang kualihkan seluruhnya pada anjingku. Aku memang kelaparan. Namun, bagaimana dengan anjingku? Batinku mulai didera bermacam pertanyaan dan jawaban yang simpang siur. Di mana kamu sekarang? Tak tahu. Bagaimana makanmu? Aku masih puasa. Apakah kamu telah mendapatkan tuan yang jauh lebih baik daripada aku? Tuanku telah kehilangan anjingnya. Mengapa kamu tak pulang? Aku sudah kembali. Apakah anjing yang menggonggong itu kamu adanya? Untuk meredakan semua itu, kupaksakan diri beranjak ke jalan di depan gang meski tubuh agak gemetar dan menahan lilitan perut dan sedikit pusing, dan cemas. Kantor Polisi Sektor nampak ayem-ayem saja. Dua orang polisi sedang bercakap-cakap di trotoir. Aku tak menghiraukan atau menyapa mereka. Jalan memang agak sepi. Tak banyak orang maupun kendaraan yang lewat. Suara gonggong anjing masih terus menyalak tapi anjingnya masih tak tampak. Aku tertatih mencari-cari asal suara itu. Aku sangat berharap suara itu keluar dari moncong anjingku. Anjingku, kamukah itu? Bukan. Apakah kamu mencariku? Tak perlu mencariku. Kamu kangen juga padaku? Tidak. Aku berjalan ke kanan, menyusur trotoir. Belum juga tampak. Baru beberapa meter kemudian aku mendapati suara itu makin keras, makin jelas. Aku berdebar-debar. Tanganku berkeringat. Aku sangat berharap bahwa suara itu memang keluar dari moncong anjingku. Tapi salak anjing itu kini bertingkahan dengan suara bocah-bocah kecil yang bersorak.

"Abu! Abu! Ck, ck, ck!"

"Guk! Guk!"

Aku sampai di sebuah mulut gang dan bersandar di dindingnya. Ada beberapa anak kecil yang jongkok menjentikkan ibu jari dan jari tengahnya ke arah seekor anjing yang warna dan resam tubuhnya mirip dengan anjingku. Suara-suara mereka ramai bersahutan. Masing-masing berebut untuk mendapatkan perhatian anjing yang berwarna abu-abu itu. Seorang bocah yang nampak alim duduk di sebuah tembok rendah pinggir gang. Di tangannya tergenggam seutas rantai yang berujung di leher si anjing. Anjing itu berlarian ke arah bocah-bocah yang jongkok tadi, namun tak pernah mencapai mereka karena si bocah alim selalu menarik rantai ke arahnya sendiri, dan si anjing dengan agak terpaksa kembali padanya. Bocah-bocah kecil saling tertawa gembira. Pelan aku ikutan jongkok dan menjentikkan jariku dan memanggil anjing itu, "Ck, ck, Abu, Abu," aku menirukan bocah-bocah itu. Anjing itu diam dan menatapiku. Bocah-bocah ikutan diam dan menatapiku. Aku mendekat setindak dua tindak pada si anjing. Anjing itu tetap diam di tempatnya. Aku berhenti begitu dekat dengan si anjing. Anjing itu menggonggong menunjuk ke arahku dengan moncongnya, namun masih duduk di tempatnya. Kuusap kepalanya dengan tanganku yang gemetaran. Dia menguik-nguik, dan hendak menjilatiku. Aku mundur dua tiga tindak. Dia hendak mendekat padaku, namun ditarik oleh si bocah alim. Dia kembali diam menatapiku. Aku menatap matanya. Tidak begitu jelas, kecil, tapi aku yakin aku melihat cerminan diriku. "Guk!" ia menggonggong. "Apakah ia anjingmu?" tanyaku pada si bocah alim yang selama itu diam. Bocah alim itu mengangguk meyakinkan. "Baru," tambahnya. "Jaga ia baik-baik," kataku pelan, lebih kepada diri sendiri. "Guk! Guk! Guk!" Anjing itu kembali menggonggong dan terus menggonggong berusaha mendekatiku. Aku berbalik, pulang, dan bertekad menyelesaikan ceritaku.

Magelang, 2021.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Mencintaimu

Aku mencintaimu, kekasih Aku mencintaimu Dengan seluruh keberadaanku Aku mencintaimu Dengan kejujuran orang dusun Karena aku di sini Di antara rumah-rumah  Yang saling menukar isi dapurnya Karena aku dinaungi mereka  Dari kejahatan musim Dan serbuan tipudaya kota Karena aku di sini Di antara pohon-pohon dan sungai Dari mana aku belajar lagi Tumbuh dengan tenang dan perlahan Mengalir Aku mencintaimu, kekasih Demi hidup yang bangkit dari sekaratnya Demi cahaya matamu yang bagaikan matari Dan hidupku sendiri seterusnya 20 Sept 2022.

AMSAL SAJAK BENING

I. Sajak ini angin menyisir bukit-bukit Oksigen bagi napasmu Pandangmu pada lautan Tidur pengemis kekenyangan Sajak ini ada di setiap kemenanganmu Lampu-lampu dan bulan di malam hari Lembayung pada sore yang cerah Kompas di kakimu Sajak ini berdetak di dadamu Bergema di do'amu Tidur, dan mimpi-mimpi  Yang kau lupakan Sajak ini kedatangan dan kepergian Tak membekas padamu selain legawa Sajak ini tubuh dan jiwa yang satu Sajak ini segala ikhwal dharma II. Sajak ini berasal dari pusat rumahku Mengalirkan napas sebegitu lancarnya Memandang dunia luar begitu tenangnya Agar-agar manis jam dua belas siang di mulutmu Di dadamu sabana menari, angin lembah menyanyi Sajak ini sebuah komposisi sempurna cerah pagi hari Cinta pertama terjaga hingga kini sampai nanti Masa tua dan terurainya simpul-simpul kefanaan Sore yang baik dan upacara minum teh yang khidmat O, sungai purba dalam tubuhmu adalah sajak ini Perkataan-perkataan baik, bijak, penuh hikmah Susu dan madu dan kayu harum da...

SAJAK-SAJAK RENUNGAN

1. Hanya ketika suwung, memahami kenyataan terasa lebih mudah. Mempersiapkan perpisahan dengan segalanya, itu yang sulit. Namun jalan selalu terbuka bagi hati yang kuat dan bersih. Perpisahan adalah pintu pertemuan yang selalu lebih baik. Apakah yang tersisa dari diri yang penuh dengan isi dunia? Segalanya berubah bentuk begitu masuk ke dalam diri kita. Sebagian besar tidak untuk dimengerti. Hanya tersisa sebagian  kecil untuk dimengerti. Begitu kecil sehingga seperti tak berarti  sama sekali. Bahkan kemudian buyar menjadi kehampaan. Namun ketika kita memandangnya dengan mata yang lain, akan terlihat betapa hal itu adalah yang paling mudah untuk membuka ruang pemahaman dalam diri kita. Bahwa kekosongan menyimpan potensi keberadaan.  Kenyataan yang sebenarnya yang belum kita lihat. 2. Hujan pasti jatuh, dan akan tumbuh merimbun lagi rumput-rumput yang sempat kerontang dan layu.  Meski kemarau telah menginjak-injak dengan kejamnya, akar-akar bisa sabar bert...