(Sebuah Parabel)
BANJIR bah melanda kota itu beberapa puluh tahun lalu. Beberapa orang yang selamat dari malapetaka itu mulai meragukan faedah matahari. Bagi mereka justru mataharilah penyebab besar atas terjadinya malapetaka itu. Panas matahari telah menyerap seluruh air kota itu, mengumpulkannya di langit kota itu, dan kemudian menumpahkannya tak habis-habis selama berminggu-minggu hingga benar-benar menenggelamkan kota itu. Maka mereka mencari cara agar matahari tak melewati langit kota mereka. Mereka menyimpulkan bahwa menyelubungi penampakan matahari yang melintasi langit kota mereka adalah cara yang paling masuk akal. Itu seperti dalam prinsip gerhana matahari. Bedanya adalah mereka membikin benda hitam yang mampu mencegah penampakan matahari seluas kota itu. Benda itu diorbitkan di langit kota mereka dimulai pada satu lokasi dimana fajar biasanya terbit di kota itu dan dikontrol dengan sistem otomatis seturut lintasan matahari sampai titik terbenamnya matahari di kota itu. Begitulah siang hari berjalan layaknya terjadi gerhana matahari. Alhasil kota itu kemudian sulit sekali didatangi hujan. Tanpa matahari, bagaimana mungkin seluruh air kota itu bisa diubah menjadi hujan? Rupanya mereka cukup puas dengan hujan kiriman kota tetangga yang tak seberapa atau membikin hujan buatan yang bisa dikendalikan.
Akan tetapi untuk melihat dengan terang mata mereka membutuhkan cahaya. Maka dengan akal mereka kemudian menciptakan sendiri sumber cahaya yang mereka sebut lampu. Maka kemudian bertebaranlah lampu-lampu di setiap sudut kota itu yang cahayanya membias ketika menyentuh kulit bening orang-orang kota itu. Setelah peristiwa banjir bah beberapa orang kota itu yang selamat dan terus hidup memang kemudian berkulit bening akibat terlampau lama mengucindani hujan dan menanggung dingin yang kejam. Kota itu memang masih dapat tumbuh dan dikenali karena cahaya lampu. Tapi bayang-bayang orang kota itu mudah membiak dan memanjang menembus tiang-tiang dan gedung-gedung, dan jatuh hingga tempat-tempat terjauh hingga membikin kacau penglihatan. Orang seolah mampu berada di mana-mana. Orang kota itu jadi tak mempedulikan lagi nama mereka. Bila ditanya, siapa namamu? Maka mereka lebih suka menjawab, Aku. Alhasil ada banyak Aku di kota itu. Kalau begitu bagaimana mungkin orang kota itu bisa membedakan satu sama lain?
Ada yang tumbuh di tubuh kota itu yang sewaktu-waktu bisa saja menciptakan malapetaka seperti yang pernah terjadi pada leluhur mereka sebelumnya. Tapi hal itu terlindas oleh rutinitas yang tak lagi menyisakan waktu luang buat merenungkannya lebih dalam. Orang-orang nampak lebih percaya bahwa diri mereka seluruhnya bening dan mudah bersinar. Mereka percaya bahwa mereka jadi mudah untuk lebih dekat satu sama lain dan belajar mengutarakan maksud-maksud mereka dengan terang demi mencapai tujuan mereka masing-masing. Mereka terus mensiasati waktu tanpa melibatkan matahari. Mereka mulai pandai berhitung tanpa bantuan terang matahari. Mereka memang mampu menciptakan alat-alat sendiri buat berhitung; kalender, jam, kalkulator, stop watch. Mereka mempercayakan langkah mereka setiap harinya pada alat-alat itu buat diukur dan dibandingkan. Kecepatan langkah dan kepandaian berhitung itulah yang digunakan orang-orang untuk membedakan dirinya satu sama lain.
Maka begitulah, seperti kunang-kunang dengan bayangan yang menyeribu mereka mulai menyesaki kota itu tiap-tiap pagi yang datangnya cuma bisa ditandai lewat hitungan jam, yang terangnya memendar dari lampu-lampu dan membias dari tubuh orang-orang kota itu. Mereka mulai dan terus berlomba untuk cepat-cepat sampai ke tempat-tempat dan tujuan-tujuan mereka, bersaing untuk meningkatkan kemampuan mereka, menukarkan kecepatan gerak dan kepandaian berhitung untuk terus bisa ditukarkan dengan oksigen kota tetangga. Orang-orang jadi sering bergesekan dan bertubrukan satu sama lain dan dengan bayangan mereka sendiri dan yang lainnya.
Ditambah dengan sedikitnya tumbuhan dan semakin menjamurnya bangunan-bangunan selain dari kayu, kota itu kemudian mudah sekali terselubungi hawa panas. Orang-orang pun kemudian semakin mudah gerah. Orang-orang jadi makin lekas marah. Orang-orang mulai saling curiga satu sama lain. Orang-orang harus lebih teliti berhitung dengan kesempatan karena sudah harus mempertaruhkan kepercayaan yang mulai retak. Orang-orang mulai was-was meneropong kemungkinan-kemungkinan akan kesempatan yang mulai sulit didapatkan itu dalam setiap waktu yang bergegas.
Hawa panas itu juga mudah menguapkan air dan menciptakan mendung di kota itu yang sesekali didorong angin kota tetangga entah ke mana. Cahaya lampu pun menjadi berkurang terangnya. Hari-hari kota itu pun mulai sering datang dan berlalu dengan muram. Orang-orang pun mulai enggan turun ke jalan. Mereka mulai lebih sering berdiam di rumah masing-masing untuk menghindari gerah yang terus melingkupi kota itu. Mereka belajar membaca kemungkinan-kemungkinan di rumahnya masing-masing. Mereka mulai suntuk menghitung kesempatan dengan kulit tubuh mereka yang pelan mulai kehilangan beningnya akibat dari hawa kota itu yang terus sumuk dan dari gesekan-gesekan dan tabrakan-tabrakan dengan sesama mereka dan dengan bayangan-bayangan mereka sendiri dan lainnya. Mereka memang mulai kehilangan kepercayaan pada diri mereka masing-masing, lalu kehilangan kepercayaan satu sama lain.
Begitu sadar bahwa kemungkinan-kemungkinan kesempatan itu makin sukar diperhitungkan, mereka mencari sisa-sisanya yang masih tersimpan di kamar-kamar yang sebelumnya sering mereka tinggalkan, di ruang keluarga yang sebelumnya mereka acuhkan keberadaannya, di kamar mandi yang makin keruh airnya, di dapur mereka yang jarang menyediakan makanan buat mereka sendiri. Mereka mulai mempelajari lagi makna sebuah rumah, canda tawa keluarga, senyum tetangga. Mereka memang lebih sering berada di rumahnya menghindari gesekan-gesekan dan tabrakan-tabrakan dengan sesamanya dan bayangan mereka, dan hawa sumuk dari mendung yang makin sering menjadi terlalu lama menggantung di langit kota itu. Kota itu makin sulit mendapatkan sejuknya. Begitupun angin kota tetangga mulai jarang mampir. Hujan buatan makin jarang mereka bikin.
Makin jarang orang-orang keluar rumah, makin sedikit lampu kota itu yang dinyalakan, makin jarang mereka berkitaran di jalan-jalan, keluar masuk gedung-gedung. Mungkin di dalam kamar masing-masing mereka mulai berpikir untuk kembali mendatangkan matahari ke langit kota itu. Mungkin dengan begitu mereka bisa menumbuhkan tanaman dengan baik dan menyediakan oksigen sendiri secara layak. Mungkin dengan itu mereka bisa melihat dengan terang segala perhitungan mengenai kesempatan. Mungkin dengan satu sumber cahaya saja masing-masing mereka cuma akan memiliki satu bayangan saja sehingga tak membikin mata mereka kerepotan membedakan bayangan masing-masing dan bayangan orang lain.
Tapi itu memang pagi yang lain. Mendung sudah terlalu berat dan lama menggantung di langit kota itu. Sebelum seseorang memutuskan untuk keluar melihat-lihat keadaan kotanya, akhirnya sebentuk tiupan mulai menggoyangkan mendung itu. Tiupan angin dari kota tetangga itu makin kencang dan terus kencang. Mendung itu akhirnya teramat lelah menanggung segala air yang telah diserapnya dari kota yang lesu dan payah itu selama bertahun-tahun terakhir. Mendung itu pun mulai menumpahkan airnya, melepaskan lelahnya ke kota itu. Hujan benar jatuh membasuh seluruh sudut kota itu dan terus melebat memukuli jalan-jalan yang lengang, gedung-gedung yang muram dan kesepian, tiang-tiang dan menara yang diam dan hitam umpama stupa tentara kalah perang. Seluruh sudut kota itu mulai dihajar hujan yang mungkin saja sama dengan hujan yang menghantarkan bencana banjir bah di kota itu beberapa puluh tahun lalu. Orang-orang kota itu merasakan hujan begitu gencar memukuli atap rumah mereka, menimbulkan dengingdesau di kepala mereka. Mereka merasa kesunyian dalam kamar masing-masing.
Magelang, 2013-2019.
Komentar
Posting Komentar