“PABILA esok embun belum sempat dihangatkan matari dan halimun belum lagi buyar, temui aku di sini.” Sambil melenggang, kau menyelipkan kartu nama di saku bajuku. Kartu nama dari lempeng batu persegi, tipis sempurna seperti kartu kredit. Kartu nama tanpa ukiran namamu kecuali ukiran arus kali pedalaman. Lempeng batu yang selalu menggemakan cerita-cerita yang kau gumamkan, kau lengkingkan, kau embuskan, kau bisikkan, kau ratapi, kau tangisi, kau timpali tawa sumbang. Cerita-cerita yang akan dengan sangat susah payah coba selalu kuingat. Cerita-cerita di hampir setiap menjelang fajar di atas batu besar mirip bulus raksasa di tepi alas tak bernama yang kusinggahi kali ini sesaat sebelum orang-orang kampung mulai datang menggerayang air, pepasir, kerikil, dan bebatu dengan kaki tangannya yang telanjang. Pasti sebelum itu, sebab bila sinar pertama menerbangkan burung hitam di pohon besar yang menjulang di antara rimbunan pohon lain di kejauhan sana itu kau pasti segera bergegas ingin pulang.
“Sebetulnya aku masih ingin bersama, bercerita-cerita. Ingat-ingatlah aku.” Tapi, namamu begitu sulit kueja. Jadi, kuingat saja kau sebagai Nyai Watu Kali. Kuingat-ingat dengan sangat susah payah ceritamu tentang orang-orang kampung yang beringas menyembelih ayahmu yang seorang kyai lalu beramai-ramai mempecundangi ibumu pada sebuah bulan hujan yang merah. Lantas, dirimu seorang saja yang sengaja disisakan selamat hanya untuk perkawinan yang terpaksa harus kau lakukan dengan salah seorang dari mereka yang beringas itu. Beberapa minggu kemudian, ketika kau mulai mengandung benih lelaki yang kau benci itu, giliran orang-orang beringas lain lagi yang menyeret lelakimu, menyiksa, membunuh, dan membuangnya entah ke mana lalu beramai-ramai menanamkan benih mereka ke dalam tubuhmu. Lengkaplah sudah kesakitanmu. Kau jadi begitu benci pada semuanya; pada orang-orang yang dulu menghabisi keluargamu, pada mereka yang memberimu benih dendam bertambah-tambah dalam rahimmu. Meskipun begitu, kau tak dapat membenci bayimu yang kelahirannya dibantu kaok gagak hitam di tepat tengah malam saat purnama ditelan mendung dan gerimis itu.
“O, mengerikan sekali! Ingin sekali kucekik lehernya saat itu juga. Tapi, perasaan perempuan yang begitu aneh yang mungkin dulu diturunkan ibuku itu menghalanginya. Juga bayi itu begitu polosnya. Aku jadi merasa begitu tolol, lalu kubekap saja tangisnya yang pertama itu dengan bengkak putingku.
“Aku beranak! Memperanakkan bayi dari benih yang tak kuingini, dari lelaki-lelaki yang sangat kubenci. Kususui juga ia, kumandikan, kuceboki, kutimang, kutidurkan, kuselimuti, meski terpaksa. Terus begitu, hari demi hari. Entah kekuatan macam apa yang menuntunku tetap melakukan semua hal itu. Barangkali kekuatan perasaan perempuan yang begitu aneh yang dulu diturunkan ibuku itu yang terus menggerakkanku untuk terus saja menyusui, memandikan, menyeboki, menimang, menyelimuti tidur lelapnya bayi itu. Tentu, setelahnya, kudongengi pula tentang hari-hari ngeri yang menitiskan ia dalam rahim seorang ibu yang dikutuk untuk memikul sumpah serapah dan tatap hina nan benci orang sekampung sepanjang sisa hidup selanjutnya; Perempuan jahanam! Istri lelaki bajingan ekstrimis nan murtad! Pemilik barang rayahan! Jalang! O!
“Sampai suatu siang saat ia menemuiku dengan muka aneh seperti cemburu juga beringas yang tertahan itu. Ia berusia belasan tahun saat itu, dan bulan Juli menjadi amat terasa keringnya ketika ia tiba-tiba saja berkata dengan bengis, ‘Kau! Ajari aku jadi kucing!’
“Aku tak tahu menahu dengan maksud perkataannya. Tanpa mengindahkan aku lagi, ia menyeretku ke sebuah semak. Dagunya menunjuk ke sebuah tanah berumput. Sepasang kucing, hitam dan belang-belang, saling mengadu ngiaunya, begitu ngeri dan ngilu. Itu seperti ungkapan keganasan tapi juga begitu menyentuh.“
*
AKU selalu mudah tersihir pada cerita-cerita. Dalam setiap arus waktu yang menepikanku, begitu mudah ocehan manusia berupa-rupa itu singgah padaku dan aku padanya. Maka, aku tak dapat menolak pintanya untuk ketemu di dini hari nan sepi di pinggir kali nan nglangut di atas batu bulus raksasa di tepi alas tak bernama. Sekali itu kau datang membawa sekeranjang karangan kembang.*)1 Katamu, hendak kau larung ke arus kali yang menggelontor itu.
“Banyak yang bisa dikenang di sini. Kali ini adalah saksi. Dengarlah arusnya yang menggelontor bebatuan besar kecil itu. Ia menggemericikkan cerita-cerita yang sama sekali tak lucu, memperdengarkan jerit pahit leluhurku. Aku selalu ngilu mendengarnya. Tapi, ia terus mengalir umpama waktu menyeret segala laku manusia. Waktu yang terus menarikku untuk selalu ke sini. Mungkin untukku terus memelihara benci. Pada mereka, kau tahu.”
Mereka yang jelasnya tak begitu kutahu. Seperti halnya diriku sendiri yang tak kutahu macam apa. Aku, lelaki minim deskripsi yang jelas selain bahwa aku ini lelaki yang gemar menepi dari hiruk pikuk kesilangsengkarutan hubungan-hubungan manusia untuk menemani yang menyingkir, yang tersingkir, dan yang disingkirkan. Karena barangkali pula, aku ini memang salah satu bagian dari mereka.
Aku memang lelaki yang gemar menepi, tapi tak bisa menolak sihir cerita-cerita yang kebetulan kutemui. Maka, kutemui ia di sini, dan kutemani ia bercerita-cerita. Meski kadang cerita-ceritanya ribut berpaut, tetap saja aku betah mendengarkannya.
“Mereka itu betul-betul laknat. Orang menggolok orang tanpa kasihan, memfitnah sepalsu-palsunya, memperkosa wanita-wanita suci, merajam bayi-bayi, membakar tempat–tempat sembahyang, membungkam santri, murtad dari kiyainya sendiri. Kadang aku bertanya, untuk apa segala adat, tatakrama, dan berjenis-jenis aturan kitab yang suci dan kitab yang tak suci itu mereka pelajari? Apa yang mereka pandang dan mereka cari dari sesuatu yang bernama hidup ini?”
Aku sendiri tak menentu menyikapinya. Seperti arus sungai itu, aku hanyut saja merunut arusku, melewati tempat-tempat dengan ribuan nama-nama dan tempat-tempat tak bernama sisanya. Aku terus menyisir tepiannya, tempat arus melambat, dan menawarkan persinggahan-persinggahan. Aku terus hanyut, menepi, terdampar, tinggal sebentar, kadang agak lama untuk kemudian hengkang juga dari sana. Terus saja begitu, tanpa pernah kutahu, apa yang hendak kutuju dari semua laku semacam itu. Tanpa pernah aku memikirpanjangkannya. Tanpa pernah kutahu kenapa mesti ada aku, kenapa aku mesti hanyut, kenapa mesti menepi, kenapa harus ada arus, kenapa cuma tepiannya yang kusenangi, kenapa cerita-cerita selalu menuntut telingaku untuk mendengarnya, kenapa aku nyaman dan betah saja didongengi.
“Kau tahu? Aku ini dibesarkan dalam limpahan ujaran kitab suci. Tuntunan yang mengharamkan dendam dan benci. Tapi, lihatlah! Orang bisa saja berubah. Meski sesungguhnya ia tak ingin sama sekali. Seandainya semua cerita buruk itu tak terjadi, mungkin aku telah nyaman kawin dengan putra seorang kyai, meski harus berbagi suami dengan tiga atau empat istri. Aku bisa terus menjalin silaturahmi dengan semua kerabat, handai taulan, dengan penuh martabat dan kehormatan. Semua itu tinggal jadi kenangan serupa abu yang lindap oleh hujan. Hujan bulan merah.”
Ah, teruskanlah ceritamu, Nyai Watu Kali. Aku memang suka mendengar cerita. Cerita, bagiku sudah seperti sekepal nasi. Nasi pemberian orang yang akan kukunyah sebentar saja, kadang tidak sama sekali, lalu kudorong ke kerongkongan, jatuh ke lambung, menetralisir lapar, terdorong ke usus terus jadi tahi, kubuang ke kali, memberi nyaman barang sehari. Barangkali pula itulah alasan kenapa aku mesti ada; mengunyah nasi, menetralisir lapar, mencari nyaman barang sehari, umpama mendengarkan ceritamu, Nyai Watu Kali.
“Dan siapa pun tahu bahwa hujan tak seharusnya berwarna merah. Semua hiruk pikuk itu akhirnya memang reda. Meski mungkin takkan seluruhnya meredakan bumi yang telah ia buat giris dan bergetar. Gelombangnya tak kan merata hinggap pada setiap orang. Mungkin orang sekampung akan lekas melupakannya. Tapi, aku kira aku tak kan pernah melupakannya. Makanya aku memilih hengkang dari kampung, tanah asalku sendiri itu, dan tinggal di tengah alas berteman binatang-binatang, tetumbuhan, angin gunung, lembah, dan kali. Dan aku akan berteman hari demi hari, bulan, dan tahun yang akan terus saja sepi jika tak ada anakku yang lahir dari benih yang kubenci, dari cerita yang mestinya cuma ada dalam khayalan, yang mungkin seharusnya tak perlu didongengkan.”
Tapi, kau telah tersihir oleh ceritamu sendiri. Ceritamu terus memaksa untuk kau dongengkan, dan juga terus menyihirku hingga aku terus betah menyimaknya. Apakah nanti akan juga kukisahkan pada seseorang yang barangkali saja kutemui dalam persinggahan-persinggahanku selanjutnya?
Aku ini lekas sekali lupa, gampang sekali lalai. Bagiku, setiap kelebatan peristiwa sama saja dengan sekepal nasi, mirip nasibku, dan juga barangkali cerita-cerita yang menyihirku itu sendiri. Semua itu demi kenyamanan barang sehari. Meski tetap saja yang namanya cerita memang mampu menyihir telingaku sedemikian rupa ketika ia mulai dihembuskan dari mulut seseorang hingga yang ada tinggal betah saja, telaten untuk terus mendengarkan.
“Anakku betah sekali mendengarkan cerita-cerita yang kudongengkan padanya. Meski aku tak pernah tahu pasti apakah ia betul-betul mengerti. Apakah gampang bagi seorang bocah bayi menyimak cerita nestapa? Bukankah setiap bocah bayi adalah suci? Mungkin baginya, dongeng ngeri yang sejatinya adalah bagian dari masa lalunya juga itu umpama suara-suara asing yang terus saja menggelitik telinganya, mengenalkan bahasa kata padanya. Pelan aku pun mengerti, tak seharusnya ia terus kubenci. Semestinya ia lebih kusayangi, sebab ia sajalah yang menemani keterbuanganku, betah mendengarkan setiap cerita-cerita yang kubisikkan, kugumamkan, kuembuskan, kusertai tawa sumbang, tangis, ratapan, lanturan hiba berkepanjangan...”
Seperti apakah ia?
“Ia seperti kamu, lelaki; selalu diam, seolah acuh, tapi sebenarnya penuh perhatian. Aku tahu, tak perlu kau iyakan.”
Kata siapa? Jangan-jangan, kau ini janda kesepian yang gampang percaya pada orang asing, dan gemar sekali memaksa mereka untuk mau mendengarkan segala keluh kesahmu.
“Tak seorang pun mau mempercayaiku, tak seorang pun pernah mau menemuiku, tak seorang pun hendak mendengar aku berbicara, berbela diri, apalagi bercerita. Tak pernah. Aku juga tak memaksa siapa pun untuk mau menyimak semua ceritaku ini. Seperti juga aku tak pernah memaksa anakku untuk hengkang menyusur kali ini dulu, setelah kukira cukup kuajarkan apa-apa yang perlu kuajarkan padanya cara-cara mensiasati hidup yang kutahu tak akan gampang, setelah aku mengerti bahwa meski ia lahir dari benih yang tak kuingini, ia tetaplah anakku sendiri, seorang manusia kecil yang sama sekali tak adil harus menanggung dosa bapak ibunya. Beberapa hari setelah ia memaksaku mengajarkan caranya menjadi kucing itu, ia pergi menyusur kali ini tanpa pernah mengungkapkan alasan kepergiannya, tanpa sempat mengatakan tujuannya.”
Jadi kau ini memang seorang janda yang amat menyedihkan; dikawin paksa oleh seseorang yang kau benci, dipecundangi segerombolan lelaki bengis, ditatap dina nan benci, menyingkir dan tinggal dengan seorang bocah laki-laki yang akhirnya juga pergi meninggalkanmu. Janda kesepian. Kasihan. Meski kuakui parasmu memang elok seperti peri.
“Bunga-bunga ini untuknya. Aku berharap sekali, suatu saat ia akan mencium wanginya. Mungkin itu bisa menghidupkan kenangannya akan masa kecil bersamaku dulu, bersama ibunya ini. Mungkin bisa mengantarnya pada sebuah keinginan untuk merunut masa lalunya. Karena kutahu, ia pasti setia dengan arus yang telah ia pilih yang tak pernah kutahu mengapa ia memilihnya, dan kenapa arus itu memilihnya. Arus yang seperti memaksanya untuk selalu pergi dan mencari itu.”
Aku hanyut saja merunut arusku, melewati tempat-tempat dengan ribuan nama-nama dan tempat-tempat tak bernama sisanya. Aku terus menyisir tepiannya, tempat arus melambat dan menawarkan persinggahan-persinggahan. Aku terus hanyut, menepi, terdampar, tinggal sebentar kadang agak lama, untuk kemudian hengkang juga dari sana. Terus saja begitu, tanpa pernah kutahu apa yang hendak kutuju dari semua laku semacam itu. Tanpa pernah aku memikirpanjangkannya. Tanpa pernah kutahu pasti kenapa mesti ada aku selain untuk mencari kenyamanan barang sehari. Mungkinkah aku punya masa lalu selain yang sekedar kutahu sebagai lelaki yang gemar menepi? Gemar menyimak cerita-cerita yang menyihirku?
Pernah susah payah mesti kuingat bahwa aku memang punya masa lalu yang berpangkal pada cerita seorang perempuan paruh baya yang menemukanku pada sebuah senja nan kelabu pada sebuah arus sungai berbatu-batu pada tempat jauh di sana yang telah kulupa itu. Susah payah kuingat ceritanya bahwa aku diambilnya dari arus kali yang mengapung-apungkan tubuhku. Kisahku berpangkal dari situ. Sebelum itu, aku tak tahu. Mungkin aku ini anak malang yang lanun dihantam sungai penghujan. Tapi perempuan itu pun tak mengerti, dan ia sepertinya tak mau tahu. Ia merawatku cuma seketika itu. Setelah aku sadar dan luka-lukaku belum sepenuhnya pulih, aku ditinggalkannya begitu saja.
“Aku mesti pergi anak muda. Dan aku tak mungkin membawamu serta. Aku tak ingin suamiku cemburu. Kau tak mungkin kuakui sebagai anakku karena kau memang bukan anakku. Anak-anakku sendiri sudah seperti bebek-bebek muda yang selalu ribut berebut makanan. Bukannya aku tak punya hati. Tapi memang lebih baik kau urus dirimu sendiri. Kau bebas memilih yang kau sukai. Tabahlah, lekas sembuh, dan kembalilah pada orang tuamu.”
Ia tak tahu kalau luka di jidatku ini adalah kutukan yang membuatku lupa segala yang telah lalu. Sepertinya ia tak mau tahu kalau aku tak pernah tahu orang tuaku, asalku, siapa sebenarnya diriku.
“Kasihan. Kasihan sekali anakku itu. Pergi tanpa tahu arah pasti, tanpa tahu hendak ke mana menuju. Aku ingin sekali ia kembali. Aku ingin ia lekas mencium wangi bebunga ini. Kau tahu? Aku sebetulnya sangat menyesal sekali kenapa membiarkan ia pergi. Sangat menyesal sekali.”
Kau melarung bebunga itu satu demi satu, hati-hati. Sehati-hati air mata yang menitis satu-satu dari matamu. Seolah-olah kau titipsertakan mantra dalam setiap lemparannya, kau ramu bersama air mata itu. Mantra dan airmata yang kau katakan sebagai ramuan suci penarik rindu, rindu akan anakmu yang belum juga kembali.
*
TAK seperti biasanya. Masih dinihari yang terlalu dini, dan kau hendak minta diri. Dari semenjak kau datang wajahmu tak tenang. Belum sekata pun kau lontarkan. Belum sekalimat pun cerita kau mukadimahi. Ditingkah wajah resah, sekali-kali menengok kanan kiri, datang tanpa sekeranjang kembang, tanpa serantang makanan yang selalu kau bawa karena kau mengerti kalau aku selalu datang tanpa perut kenyang, kau tampak mencurigakan.
“Maafkan aku.”
Untuk apa? Sepertinya tak perlu ada permintaan maaf segala. Sudah cukup semua kudengar darimu. Harusnya orang-orang bengis itu sajalah yang minta maaf padamu.
“Aku. Aku tak enak sama lelakiku.”
Lelaki? Jadi, cerita-cerita selama dinihari berturut-turut hampir setengah purnama ini? Mungkinkah kau menipuku? Untuk apa?
“Jangan berprasangka yang bukan-bukan. Semua ceritaku itu benar adanya. Aku memang janda kesepian yang menyedihkan. Tapi itu dulu sekali. Ah, maafkanlah, aku mesti pulang. Aku tak enak sama lelakiku. Selama ini ia sudah selalu setia, rela melepasku tiap dini hari untuk ke sini, ke tepi kali ini, ke batu bulus raksasa ini, sekedar mengingat kenangan akan orang yang sangat kusayang. Untuk juga menemuimu, satu-satunya orang asing yang mau mendengar ceritaku.”
Lelaki macam manakah yang begitu berbesar hati mau menerimamu? Katamu kau ditatap hina nan benci orang sekampung? Ingin kudengar ceritamu lebih banyak lagi. Perempuan aneh yang rupa-rupanya tak mudah untuk kupercaya itu. Tapi, kau lebih dulu ngeloyor pergi tanpa sempat kumelihat kapan kau beranjak dari batu bulus raksasa ini.
Kau telah di tepian kali ini ketika aku menoleh-noleh mencarimu. Sinar purnama ke sekian yang lolos dari awan dan pedut membiaskan sebentuk bayang-bayang yang beranjak dari batu pijakan terakhir sebelum nuju daratan. Ia hilang sejenak, sebelum sebentuk cahaya obor kemudian menambah-nambah kebingunganku. Kau tak pernah membawa penerang selama ini. Maka, itu memaksaku berbicara, hal yang telah lama kulupa kapan terakhir kali aku melakukannya.
“Sssiapa dia?!” Aku merasa aneh mendengar suaraku sendiri yang lantang menantang gemelontor arus kali, menguak gelap sepi dinihari. Dan memang tak ada jawaban darimu. Tapi cahaya obor di sisimu itu mobat-mabit, bergoyang-goyang seperti hendak memberi sandi. Sepertinya, orang di balik obor itulah yang kemudian menjawab pertanyaanku. “Aku anaknya. Anak dari seorang ayah durhaka. Cucu dari lelaki bajingan bengis murtad nan ekstrimis! Itulah aku jika kau ingin tahu.” Jawaban itu tak kalah lantangnya. Seterusnya cuma diam. Lalu obor itu melenggang pelan, tanpa suara, makin mengecil di kejauhan sana.
*
AKHIRNYA semua akan tiba pada suatu hari yang biasa. Pada suatu tempat yang telah lama kita ketahui.*)2
Sebuah perpisahan yang biasa setelah pertemuan-pertemuan yang jika susah payah kuingat dan kurangkum ternyata cuma mengetengahkan hal-hal yang itu-itu saja; cerita yang kau ulang-ulang tentang gerombolan manusia bengis, janda nelangsa, anak durhaka, tentang benci, dendam, dan sakit hati. Cerita yang sebelum-sebelumnya mampu menyihirku, kini kurasa benar-benar telah ikut-ikutan jadi semacam hal yang sama saja dengan nasib sekepal nasi pemberian orang yang kutemui dalam tiap perjalananku menempuh arus tepian ini; masuk ke perut, menetralisir lapar, dan keluar lewat dubur sebagai tahi. Semua hanya demi kenyamanan barang sehari.
Aku masih nyaman di sini, di atas batu bulus raksasa ini, merenung lempeng batu persegi tanpa ukiran namamu itu.
Cerita-ceritamu serasa mudah sekali kulupa, dan sulit sekali kuingat kembali, terasa mengelangutkan.
Dan entah kenapa, tiba-tiba saja aku berharap sekali bahwa semua cerita itu adalah bagian dari masa laluku, dengan sebagian cerita yang kemudian sangat susah payah kukoreksi jadi semacam ini;
Sampai suatu siang yang hujan itu. Belasan tahun ia saat itu. Ia menemuiku dengan muka aneh, mulut cemberut, menjengkelkan aku yang lagi menanak nasi. Kutanya kenapa, ia malah ganti bertanya,“Siapa bapakku sebetulnya, bu?”
Selama ini ia tak pernah rewel menanyakan bapaknya. Mungkin ia telah kelayapan ke kampung. Hal yang sangat kularang. Dan justru di sana, ia mendapati diri diejek penuh benci, diolok-olok sebagai anak wanita jahanam menyedihkan, bekas isteri bajingan bengis murtad nan ekstrimis. Ia meradang, tapi tak kuasa, sebab sepertinya begitulah adanya kebenaran tentang dirinya. Ia tak terima. Dan padakulah ia hendak mengadu, mencari tahu kebenaran itu. Meski aku kaget, marah, dan jengkel, ia tetap tak kutanggapi. Alhasil, ia terus merajuk, terus cemberut, mencecarku dengan tanya itu-itu juga. “Siapa, bu? Siapakah ia? Ia gerombolan bengis bajingan ekstrimis nan murtad itukah?”
Aku tetap tak menanggapi. Ia terus merajuk, terus mencecarku dengan tanya serupa, berulang-ulang hingga memuncak juga amarahku itu. Kusuruh ia diam, berhenti bertanya. Tapi ia tak mau. Ia terus berlagak begitu. Maka, kukejar ia hingga keluar pintu. Hingga kemudian kupukulkan centhong itu ke jidatnya. Dan ia diam membisu, menatapku penuh benci, membiarkan darah menetes dari jidatnya. Ia diam, berbalik meninggalkan aku seumpama orang kecewa amat sangatnya. Seperti orang linglung kena tenung, ia terus beranjak tanpa mengindahkan aku yang memintanya untuk kembali, tanpa mengindahkan tangis penyesalan ibunya ini.
“Maafkan ibu, nang. Maafkan ibu.”
Tapi ia memang terlanjur lamur, kabur tanpa mengindahkan derasnya hujan bulan September yang nanti memerosokkan kakinya pada sebuah jurang, melemparkannya ke deras arus kali penghujan. Kali berbatu-batu yang sepertinya tanpa sadar ia pilih, dan rupanya memilihnya itu. Kali yang akan menghanyutkannya dan mendamparkannya ke tempat-tempat yang bernama dan tak bernama. Tempat-tempat yang akan menghidanginya dengan cerita-cerita, sebelum melemparnya kembali pada arus kali yang sama.
Magelang, 22 Mei 2011.
Note:*)1. Variasi dari larik sajak “Sia-Sia”; Chairil Anwar, “Penghabisan kali itu kau datang//Membawa karangan kembang//Mawar merah dan melati putih.” *)2. Salah satu larik puisi “Sebuah Tanya”; Soe Hok Gie.
Komentar
Posting Komentar